TANTANGAN TRISAKTI BAGI
JOKOWI
Sejak Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berhasil memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI-Jakarta, banyak di antara penduduk yang menjadi gandrung kepada pasangan itu. Kejujuran, keseriusan dan gaya memimpin dengan “blusukan” ke segala pelosok ibukota, kunjungan mendadak ke kantor-kantor bupati atau lurah dan kegiatan “merakyat” lainnya yang tak pernah dilakukan oleh pejabat-pejabat yang mendahuluinya telah menambah kepopuleran Jokowi.
Bukan hanya di Indonesia kita temukan gejala munculnya seorang tokoh populis. Di Amerika Latin, gejala ini disebut “el Caudillismo” (caudillo berarti pemimpin). Gejala sosial yang disebut “Caudillismo” ini muncul pada abad XIX yang berarti munculnya seorang pemimpin dengan kwalitas dan kepribadian atau karisma yang besar. El “Caudillo” ini mencapai kekuasaan berkat terciptanya pemujaan terhadap dirinya di berbagai sektor penduduk yang mengharapkan terselesaikannya masalah-masalah besar yang dihadapinya. Ditengah-tengah kebobrokan dan kebusukan Pemerintahan dengan para pejabat dan elit politiknya yang tak pernah “turun kebawah”, yang tanpa malu-malu menghamburkan dan merampok uang Rakyat untuk foya-foya dan memenuhi pundi-pundinya sendiri, sangat dimengerti kalau orang menjadi terpikat atau bahkan menjadi pemuja dan pendukung fanatik Jokowi. Saya alami sendiri ejekan dan cemooh dari orang-orang yang bersikap membuta yang menjadi agresif terhadap orang lain yang mengemukakan pandangan yang kritis.
Tidak adanya sebuah partai politik yang sungguh-sungguh mewakili aspirasi Rakyat juga telah mendorong orang beralih untuk menaruh harapannya kepada seorang “juru selamat” , seorang tokoh yang jujur, bersih, dan lain dari pada tokoh-tokoh yang sudah sejak lama membuat Rakyat muak. PDI-P pun tidak dianggap Rakyat sebagai partai politik yang mewakili kepentingannya. Ini jelas terlihat pada hasil pemilu legislatif setelah tahun 1999, yang menunjukkan kedudukan PDI-P di mata Rakyat terus merosot. Diajukannya Jokowi sebagai capres oleh Megawati adalah karena ia sendiri sudah dapat dipastikan tidak akan bisa memenangkan pemilihan presiden. Rakyat sudah dibikin kecewa ketika ia memangku jabatan Presiden tahun 2002-2004. Kasarnya majunya Jokowi diharapkan dapat meningkatkan suara bagi PDI-P. Namun harapan inipun gagal!
Megawati memberi mandat kepada Jokowi untuk melaksanakan Trisakti Sukarno (14 Mei 2014, Jakarta, Kompas.com “Keseleo lidah,Surya Paloh bikin Megawati tertawa). Kemudian, 18 Januari 2014, saya baca di internet berita “Hanura berharap, bersama PDI-P, bisa melaksanakan Trisakti Sukarno di Indonesia”. Rupanya kalangan elit politik menjelang pemilu 2014 terjangkit demam “Trisakti Konsep Trisakti Bung Karno adalah: “Berdaulat dalam politik”, “Berdikari dalam ekonomi” dan “Berkepribadian dalam kebudayaan”. “Berdaulat dalam politik” tidak bisa dipisahkan dari ”Berdikari dalam ekonomi”. Dimilikinya sebuah ekonomi yang mandiri, tidak tergantung kepada modal asing yang diselubungi dengan kata “bantuan” adalah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat berdaulat dalam politik.
Konsep Trisakti tidak dapat dipisahkan dari penolakan Bung Karno kepada Exploitation de l’homme par l’homme (Penghisapan manusia atas manusia). Masalahnya sekarang adalah apakah para tokoh-tokoh elit politik yang sedang kena demam “Trisakti” itu mengerti betul apa arti dan hakekat dari konsep Sukarno itu? Apakah mereka sadar akan musuh-musuh yang harus mereka hadapi seandainya mereka sungguh-sungguh ingin dengan konsekwen menerapkan Trisakti? Saya agak meragukan Jokowi memahami hakekat atau inti sari dari konsep Trisakti. Jokowi tidak mampu atau tidak mau melihat perbedaan pokok antara Megawati dan Sukarno. Ia mengaku Sukarno sebagai mentornya, dan Megawati juga diakui sebagai mentornya. Padahal kedua orang itu, walaupun ada hubungan darah bapak dan anak, namun ide yang ada dikepala masing-masing sangat bertentangan. Pemerintahan Sukarno adalah sebuah pemerintahan nasionalis anti-nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) dengan salah satu manifestasi terbesarnya adalah Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Ganefo (Games of New Emerging forces).
UU Pokok Agraria dan UU Bagi Hasil yang menguntungkan kaum tani juga dikeluarkan pada Jaman Sukarno. Justru karena sifat-sifat positif inlah pemerintahan Sukarno ditumbangkan oleh Imperialisme AS melalui tangan berdarah anteknya, jaitu Jenderal Suharto. Sudah tentu, tegaknya sebuah pemerintahan nasionalis anti-nekolim dan dalam batas-batas tertentu pro kaum tani yang dipimpin Sukarno, sama sekali tidak dapat dilepaskan dari kenyataan adanya sebuah gerakan massa buruh, tani, mahasiswa, pelajar, pemuda, wanita, kaum intelektual revolusioner yang terorganisasi dan partai-partai kiri pendukung Sukarno, termasuk PKI. Ketidak-mungkinannya seorang tokoh nasional, tak perduli berapa besarnya kepopulerannya di kalangan massa, untuk merubah sebuah sistim, atau dalam kasus Sukarno, mencegah terjadinya pembantaian masal terhadap manusia tak berdosa, telah dibuktikan dengan lumpuhnya Sukarno begitu kekuatan massa terorganisasi dan partai politik yang konsekwen mendukungnya dihancurkan. Sementara itu, pemerintahan Megawati tidak lebih dan tidak kurang adalah sebuah pemerintahan boneka AS yang dengan setia menjalankan politik neoliberal dan semua resep yang diajukan lembaga-lembaga keuangan imperialis seperti IMF dan Bank Dunia.
Keinginan Kwiek Gian Gie untuk melepaskan Indonesia dari jeratan hutang yang sengaja dipasang IMF pun tidak terlaksana karena tidak mendapat dukungan yang semestinya. Pernah seseorang dengan serampangan mengejek dan mencemooh saya karena dianggapnya saya melupakan Tragedi Nasional 1965, hanya karena tidak dilihatnya tulisan saya di internet ketika orang ramai menulis untuk memperingati kejadian itu. Padahal, justru karena satu haripun tidak pernah lewat tanpa pikiran dan hati saya teringat kepada jutaan korban pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan dan penghinaan yang dilakukan oleh algojo-algojo fasis, maka saya tidak pernah ingin melupakan pelajaran-pelajaran pokok yang telah dibayar dengan sangat mahal itu. Dan saya bersyukur ternyata tidak sendirian dalam harapan tidak tersandung dengan batu yang sama untuk kedua kalinya. Walaupun tidak sedikit juga yang melupakan sebab-sebab dan kondisi yang mengakibatkan pembantaian itu.
Jokowi adalah seorang borjuis nasional. Pengalaman sejarah menunjukkan kegagalan tokoh-tokoh nasionalis borjuis berbagai negeri, seperti Nasser, Nyrere, Nkrumah, Nehru untuk membangun negeri yang secara politik dan ekonomi bebas dari dominasi imperialis dan neo-kolonialis dan memberi kemakmuran kepada rakyatnya. Mengapa? Pertama, dalam jaman kapitalisme monopoli dunia dewasa ini, kekuasaan kapital monopoli internasional yang didukung oleh Negara-Negara imperialis serta semua lembaga dagang dan keuangannya, seperti WTO, IMF, Bank Dunia, dan lain-lainnya, sudah begitu besar dan kuatnya sehingga bornas tak mampu melawannya. Karena tidak berdaya, maka jalan yang paling sering dipilih bornas adalah menyerah dan tunduk kepada kaum monopoli asing. Kedua, kaum Imperialis tidak akan pernah mengijinkan negeri-negeri Dunia Ketiga berkembang dan menjadi saingannya. Mereka sangat berkepentingan untuk mempertahankan kondisi negeri-negeri ini hanya sebagai sumber bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar bagi barang-barang produksinya yang sudah kelebihan sebagai akibat dari over-production.
Oleh karena itu setiap ada tokoh bornas suatu negeri Dunia Ketiga ingin membebaskan dirinya dari cengkeraman dominasi dan membangkang, tidak menjalankan kebijakan yang didiktenya, datanglah kaum imperialis yang dikepalai AS dengan ancaman destabilisasi politik dan ekonomi dan bahkan penggulingan pemerintahannya seperti Jacobo Arbenz di Guatemala, João Goulart di Brazil, Salvador Allende di Chile dan termasuk pemerintahan Sukarno. Contoh yang lebih baru adalah perang Irak yang menggulingkan Saddam Hussein, Jenderal Khadafi di Libia dan usaha penggulingan Bashar Al-Assad di Suriah.
Berdikari dalam ekonomi supaya dapat berdaulat dalam politik berarti harus berani melawan Imperialisme yang berdiri dibelakang modal monopoli asing dan semua lembaga dagang dan keuangan internasional serta semua perjanjian dan peraturan yang menghancurkan ekonomi nasional dan lingkungan yang sudah ditandatangani oleh pemerintahan sebelumnya; berani berpihak kepada kaum tani dengan mengembalikan tanahnya yang dirampas dan menjalankan reforma agraria sejati, berani berpihak kepada kaum buruh dengan memenuhi tuntutannya, seperti penghapusan outsourcing, jaminan sosial untuk seluruh rakyat yang ditanggung sepenuhnya oleh Negara, melindungi hak-hak demokratisnya, berani melawan tuan tanah pemilik monopoli tanah, kaum kapitalis birokrat dan kapitalis komprador. Bersediakah dan mampukah Jokowi menghadapi dengan konsekwen lawan-lawan klas berat ini?
Membaca “Revolusi Mental”nya Jokowi, kita tersentuh oleh keprihatinannya atas kebobrokan dan keamburadulan dalam masyarakat yang sama sekali tak dapat diatasi oleh semua pemerintahan jaman reformasi. Adalah positif ditudingnya oleh Jokowi masalah-masalah antara lain, “prinsip-prinsip paham liberalisme”, “kebijakan ekonomi yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar”, “menggantung kepada modal asing sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para “komprador” Indonesia-nya; “membuka kran import untuk bahan makanan dan kebutuhan lain”; “kebijakan investasi luar negeri…tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya”. Gagasan “Revolusi Mental” yang diajukan sebagai jalan keluar untuk mengatasi semua hal-hal yang ditunjukkan itu dan mencapai Trisakti Sukarno menunjukkan Jokowi sama sekali tidak tahu di mana akar atau biang keladi dari semua penyakit yang diderita masyarakat Indonesia.
Namun yang mengherankan lagi adalah orang-orang yang mengaku mengenal Marxisme kontan menganggap gagasan “revolusi mental” sebagai sesuatu yang genial! Kalau kita lihat Kamus Bahasa Indonesia Komtemporer oleh Drs. Peter Salim,M.A, maka dijelaskan, antara lain, mental adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia, ….mental berhubungan dengan sikap dan watak manusia. Orang yang mengenal Marxisme tentunya mengakui bahwa mental, sikap dan watak manusia lahir, berkembang dan dipupuk oleh keadaan materi sekitarnya. Sungguh tak bisa saya membayangkan betapa jauh dan dalamnya jurang yang memisahkan “revolusi mental” itu dengan pelaksanaan Trisakti. Pada jaman Sukarno, ide-ide progresifnya mendapat dukungan kuat massa rakyat yang terorganisasi. Tidah jauh dari kenyataan kalau kita mengatakan bahwa Sukarno ketika itu “berkoalisi” dengan Rakyat yang terorganisasi dengan tingkat kesadaran politik cukup tinggi. Tapi mengatakan bahwa sekarang Jokowi berkoalisi dengan rakyat adalah absurd! Secara sederhana dan dangkal orang menginterpretasi komunikasi Jokowi dengan sektor penduduk yang ia temukan dalam “blusukan”nya sebagai bentuk koalisinya dengan rakyat. Padahal jelas gamblang di depan mata kita, Jokowi sedang mendapat “lamaran” koalisi dari berbagai partai dan tokoh yang sudah lama kita kenal busuknya.
Semakin banyak partai dan tokoh elit politik yang ketularan demam “Trisakti”, semakin jelas bagi kita bahwa pengertian mereka akan “Trisakti” sama sekali tidak sama dengan konsep “Trisakti” yang diinginkan oleh Sukarno. Sehingga yang terjadi adalah pengebirian dan revisi terhadap konsep “Trisakti”. Karena, kalau kita mau dengan jujur mengakui, Trisakti yang sejati sebenarnya hanya bisa dilaksanakan oleh sebuah pemerintahan rakyat nasionalis yang anti imperialisme dan berani mengusir modal asing dan perusahaan multinasional serta semua politik dan peraturan yang mereka dikte. Dengan kata lain, membebaskan ekonomi dan politik Indonesia dari jajahan, dominasi dan dikte kaum imperialis. Artinya, mengambil resiko seperti yang telah dilakukan Sukarno dan juga para pemimpin bornas berbagai negeri Dunia Ketiga yang sudah ditumbangkan oleh kaum imperialis dan antek-anteknya. Inilah tantangan buat Jokowi kalau betul-betul mau dengan konsekwen menerapkan konsep Trisakti yang sejati!
Belanda 19 Mei 2014
T. Lukman