Sabtu, 05 April 2014

SATINAH ITU CUMA KORBAN..

Dibebaskanya Satinah dari hukuman mati, dengan menebus uang diyat yang dibayarkan oleh pemerintah, menuai pro dan kontara.

Hal ini sangat wajar, karena tidak semua masyarakat tahu kejadian yang sebenarnya. Satinah bukan membunuh, dia hanya membela diri dengan gerakan reflek yang tanpa sengaja telah megakibatkan hilangnya nyawa sang majikan.

Berkaitan dengan hal diatas maka pada tanggal 5/4/2014, Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) membuat pernyataan;

PERNYATAAN SIKAP ATAS PEMBEBASAN SATINAH JANGAN ADA RUYATI & SATINAH BERIKUTNYA

Segera Ciptakan & Terapkan Kontrak Kerja Bagi Buruh Migran di Timur Tengah dan Negara Penempatan Lain Selamatkan 427 Buruh Migran Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri.

Selamat kepada semua buruh migran dan elemen masyarakat atas keberhasilan memperjuangkan pembebasan Satinah.

Atas desakan dan aksi solidaritas beruntun di nasional dan internasional, akhirnya pemerintah Indonesia bersedia melunasi diyat Satinah sebesar 7 juta riyal (Rp 21 milyar), seperti yang diumumkan di media massa tanggal 3 April kemarin. Sekali lagi terbukti bahwa pembelaan hak buruh migran bukan karena kebaikan pemerintah tetapi karena persatuan buruh migran dan para pendukungnya.


Jika tidak berhalangan, maka Satinah dijadwalkan pulang maksimal akhir April 2014 ini. Hal ini membuktikan bahwa alasan- alasan pemerintah tidak mampu membebaskan Satinah itu hanya alibi. Kenyataannya selama ada niat kuat dan upaya keras, maka persoalan buruh migran seperti terancam hukuman mati bisa diperjuangkan.

Sayangnya, pemerintah justru pasif dan menunggu diprotes dulu baru mau bergerak. Lalu bagaimana dengan buruh migran berkasus yang namanya tidak kita ketahui? Mereka tidak berdaya dan hanya bisa pasrah pada kebaikan negara penempatan yang kejam seperti di Arab dan Malaysia.

SATINAH KORBAN, BUKAN KRIMINAL.

Satinah berangkat ke Arab di pertengahan September 2006 melalui PT. Djamin Harapan Abadi. Ini ketiga kalinya dia keluar negeri sebagai TKI.
Setelah 3 bulan tidak memberi kabar, tiba-tiba keluarga menerima telpon dari Satinah yang mengabarkan dia sedang bermasalah di kantor Polisi tanpa menjelaskan kasusnya.


Setelah itu, dia tidak pernah memberi kabar lagi. Sampai tahun 2008, seorang TKI yang juga bekerja di Arab memberitahu keluarga bahwa Satinah dipenjara karena dituduh membunuh majikan. Kepada teman ini, Satinah bercerita bahwa selama bekerja dia sering diperlakukan tidak baik.


Lalu pada hari itu, dia sedang memasak di dapur, tiba-tiba majikan perempuan berteriak-teriak memanggilnya. Ketika mendekat, majikan menjambak rambutnya dan hendak membenturkan kepalanya ke tembok. Satinah berusaha melawan dan akhirnya meraih adonan roti. Dalam keadaan kesakitan dan panik, Satinah memukulkan adonan tersebut ke arah majikan dan ternyata mengenai tengkuknya (leher bagian belakang-red), sehingga pingsan.


Satinah kebingungan dan ketakutan, lalu dia membawa tubuh majikannya ke kamar. Dalam kondisi panik, Satinah meninggalkan rumah majikan dan menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.


Selama 5 kali sidang, tidak ada satupun staff KBRI yang mendampinginya. Bahkan berita yang beredar justru menuduh Satinah membunuh dan mencuri uang sehingga tidak layak dibela.

Arab adalah negara penerima kedua terbesar pengiriman buruh migran yaitu mencapai 1 juta orang namun sampai saat ini tidak punya perlindungan hukum. Upah sangat rendah sebesar Rp. 1,200,000 – 1,600,000 perbulan, tidak ada libur, jam kerja panjang, sistem percaloan yang sangat kuat bahkan di dalam Kedubes dan Konsulat dalam hal pengurusan dokumen.


Meski kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Arab (MoU) telah ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2014 yang mencakup perlindungan hak-hak pekerja dan akan dibentuk Joint Working Committee (JWC) dari kedua negara untuk membahas mekanisme dan sistim perjanjian kerja, tapi MoU tidak memuat jalur penuntutan jika buruh migran bermasalah.

MoU juga tidak mengakui buruh migran tidak berdokumen (overstay). Jangan Sampai Ada Korban Berikutnya Segera Ciptakan Kontrak Kerja dan Bebaskan Buruh Migran Terancam Hukuman Mati Lainnya Apa yang dialami Satinah bisa terjadi kepada setiap PRT migran Indonesia di luar negeri.


Kekuatan kita hanya ada jika kita punya kontrak kerja yang diakui hukum dengan hak-hak seperti sesuai dengan Konvensi PRT C189 dan Konvensi PBB 1990. Lebih dari itu, hak berorganisasi buruh migran juga harus dijamin sehingga ada perkumpulan untuk mengadu atau meminta pertolongan jika bermasalah. Terbukti keberadaan hotline atau pusat pengaduan KBRI/ Konsulat tidak menyelesaikan berbagai kasus yang dialami buruh migran di luar negeri. Sudah cukup penderitaan menimpa Satinah. Sudah cukup PRT migran Indonesia ditelantarkan di luar negeri. Pemerintah seharusnya berkaca dari berbagai kasus tersebut untuk segera mengubah sistem penempatan yang merugikan ini.

Keselamatan dan pelayanan bagi para pahlawan devisa adalah kewajiban negara. Untuk itu, selain meyakinkan kontrak kerja yang punya kekuatan hukum dan jalur penuntutan jika terjadi pelanggaran, pemerintah juga harus memberi orientasi yang benar sebelum pemberangkatan. Hal itu memuat hukum.


Ketenagakerjaan, sosial budaya, panduan keselamatan kerja dan jalur pengaduan yang benar. Orientasi atau training harus disediakan gratis oleh pemerintah di daerah sehingga calon buruh migran tidak harus dipisahkan dengan keluarga dan dipaksa “berhutang” kepada PPTKIS.

Lebih dari itu, tugas pemerintah tidak berhenti pada Satinah semata. Masih ada 427 buruh migran di berbagai negara penempatan dan 46 diantaranya di Arab sedang menunggu uluran tangan pemerintah.


Salah satunya Siti Zaenab asal Madura yang dikenakan diyat 90 milyar rupiah. Pemerintah berkewajiban menyelamatkan mereka karena mereka hanyalah korban kemiskinan dan tidak adanya perlindungan selama bekerja. Pemerintah perlu menggunakan semua celah yang ada termasuk hubungan diplomatik untuk menyelamatkan mereka.

Pertanyaannya adalah seberapa besar kemauan dan keseriusan pemerintah untuk itu? Saat ini sebanyak 10 juta buruh migran bekerja di luar negeri. Melindungi dan membela buruh migran adalah kewajiban pemerintah.


Jika tidak ingin ada lagi korban hukuman mati maka lebih baik segera ciptakan lapangan kerja di tanah air sehingga rakyat tidak harus keluar negeri demi sesuap nasi. Pemerintah berkewajiban menghentikan program pengiriman TKI yang semakin kejam dan membunuh ini. Namun tanpa lapangan kerja dengan upah layak, maka rakyat akan selalu tidak punya pilihan kecuali menjadi tenaga kerja di luar negeri dengan segala resikonya.

Referensi:
Iweng Karsiwen (+62-81281045671) Sringatin (+852-69920878)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar